Soalperempuan, Hamka yang kala itu masih bergelora selaku anak muda, tidak seturut laku sang ayah, Dr. Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul. Seperti diceritakan Rusydi Hamka dalam Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr Hamka (1981: 1-20), umur 19 tahun sepulang berhaji, Hamka terima bujukan sang paman, Haji Yusuf Amrullah. Secararingkasnya, bisa dibaca dalam buku "Ayah: Kisah Buya Hamka" (2016: 255-257). Dalam buku itu dijelaskan bahwa Hamka ditahan atas perintah Presiden Sioekarno, selama dua tahun empat bulan (1964-1966). Beliau dituduh melanggar Undang-undang Subversif Pempres No. 11 yang merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno. Tak hanya ditahan. Singkatcerita, setelah dua tahun bertunangan, Buya Hamka resmi mempersunting Siti Raham binti Endah Sutan pada 5 April 1929. Saat itu Buya Hamka dalam usia 21 tahun dan Siti Raham berusia 15 tahun. Siti Raham mendampingi buya selama 43 tahun, dan melahirkan 10 orang anak (belum termasuk 2 orang anak yang meninggal dan 2 orang yang keguguran). Selaintulisannya di bidang keagamaan, Buya Hamka juga menghiasi karya Nusantara di bidang sastra, kata Buya Hamka siapa yang tidak tahu karya Buya Hamka "Di Bawah Lindungan Ka'bah" yang ditulis pada 1936, "Tenggelamnya Kapal van Der Wijck" tahun 1937, dan masih banyak karya beliau yang berkontribusi di bidang sastra, bahkan beberapa karya beliau tersebut pernah difilmkan pada abad Olehsebab itu ada konsep yang bernama kesabaran.Kesabaran ini mudah diucapkan. Namun, sulit untuk dipraktekkan. Itulah yang Buya Hamka praktekkan dalam kehidupan. Mungkin tanpa penderitaan, tanpa kesabaran, tanpa prinsip kuat dalam memegang tali-tali agama, Buya Hamka tidak akan menjadi Buya Hamka yang kita kenal sekarang ini. Apa Jilbab istri Buya Hamka & muslimah @muhammadiyah jaman dulu itu salah ? Apa yg benar cuma golongan HTI ? Baiknya Ndasmu bungkus aja pake karung goni drun! 😊😀 #HtiAduDombaUmat" IXpm2N. Gabung KomunitasYuk gabung komunitas {{forum_name}} dulu supaya bisa kasih cendol, komentar dan hal seru lainnya. Kaskus Addict Posts 3,353 Lufaefi - Kamis, 28 Januari 2021 1310 WIB Jilbab adalah busana muslim terusan panjang menutupi seluruh badan kecuali tangan, kaki dan wajah yang biasa dikenakan oleh para wanita muslim. Penggunaan jenis pakaian ini terkait dengan tuntunan syariat Islam untuk menggunakan pakaian yang menutup aurat atau dikenal dengan istilah hijab. Dalam sebuah tayangan di televisi swasta, Quraish Shihab ditanya oleh salah seorang jamaah ibu-ibu soal hukum memakai jilbab dan penerapan pemakaiannya dalam keluarganya. Quraish Shihab menjawab bahwa jilbab tidak wajib dikenakan oleh muslimah. Dengan tiga alasan yang perlu dipahami. Sebagai berikut 1. Ulama berbeda pendapat definisi jilbab Alasan pertama karena definisi jilbab antar satu ulama dengan ulama lain berbeda. Ada yang mengatakan jilbab itu seperti pakaian kerudung. Ada yang mengatakan cadar. Dan ada pula yang mengatakan yang penting pakaian terhormat bagi wanita. 2. Ulama berbeda pendapat soal batasan aurat Alasan ini juga menjadi pijakan penting mengapa menurut Quraish Shihab jilbab tidak wajib bagi muslimah. Terhadap batasan aurat wanita, pendapat ulama berbeda-beda. Ada yang mengatakan semua bagian tubuh kecuali telapak tangan dan muka. Ada yang mengatakan selain mata. Dan ada yang mengatakan kurang dari semua itu. 3. Dalam konteks Indonesia jilbab baru ramai dipakai 20-an tahun ke belakang Menurut beliau, alasan mengapa jilbab tidak wajib juga buktinya dulu orang-orang Indonesia tidak berjilbab. Istri Buya Hamka tidak berjilbab. Aisiyah dan Muslimah dulu tidak pakai jilbab. Ini bukti bahwa jilbab terjadi beda pendapat soal kewajiban dan tidaknya. Dari perbedaan para ulama yang ada, menurut beliau, yang paling banyak adalah pendapat yang mengatakan jilbab yang paling penting adalah pakaian terhormat. Jilbab menurut beliau baik. Akan tetapi harus dipakai atas dasar kesadaran, bukan karena paksaan. [URL= E N S O Rid-1266953-read-quraish-shihab-ini-3-alasan-mengapa-jilbab-tidak-wajib-bagi-muslimah]Sumber[/URL] Ane sbg muslim sependapat ama Quraish Shihab, jilbab itu pilihan individu, bukan paksaan. Tafsir alquran Bahasa Indonesia diterjemahin jilbab ? dan ditelen bulet2 ama kadrun dan kadrunwati di marih, sampe anak2 mereka juga dipaksa pake jilbab sejak kecil.. Quraish Shihab yg literally berdarah Arab aja percaya ama tafsir alquran Bahasa Inggris yg universal dan gak dibuat2. Cloak itu jubah / baju panjang yang longgar bray.. gak spesifik hrs nutupin rambut. Berarti di sini banyak yang lebih arab daripada orang arab. Cewe yg pake baju panjang, lebar, dan gombrong, wlpn rambut keliatan, belum tentu bikin cowo2 nafsu bray.. Apalagi cewe yg mukanya di bawah standar.. Ada yg nafsu ama foto aslinya? ngakak dulu ah sebelum ditegur momod & pro kadrun 31-01-2021 1300 prabas dan 49 lainnya memberi reputasi karena itu tafsir agama jangan pernah diurusi negara, apalagi diserahkan pada selera yang sedang menjabat. pakaian di ranah negara harus netral tapi negara juga nggak usah melarang2 orang memakai pakaian yang menjadi simbol agama. itu sebabnya, negara juga nggak usah urusi pendidikan agama karena tafsir dalam 1 agama aja macam2, tafsir mana yang mau dipakai? nanti ada yang beda tafsir di sekolah, bisa ribut atau nilainya jelek gara2 nggak mau ikut tafsir tersebut. 31-01-2021 1312 secer dan 24 lainnya memberi reputasiDiubah oleh billyns 31-01-2021 1330 Kaskus Maniac Posts 6,807 Beda otak Cewe sakit ga mikirin sex. Cowo sakit masih mikirin sex. Klo g salah gw baca di kompas dah lama. 31-01-2021 1312 ujellyjello memberi reputasi Kaskus Addict Posts 2,491 ane nungguin ada gak yang komen soal nyamuk DBD 31-01-2021 1317 scorpiolama dan 6 lainnya memberi reputasi Yang gwa tau, jilbab ga wajib buat laki laki 31-01-2021 1317 asepsutana dan 11 lainnya memberi reputasi Klo gw pribadi pegangannya sholat. Cewek sholat gimana ya udah itu auratnya. Urusan dia pke jilbab atau hijab atau niqab. Ya tergantung orangnya yg nyaman yg mana 31-01-2021 1317 lubizers dan 14 lainnya memberi reputasi KASKUS Addict Posts 3,483 Mbak najwa ga pake jilbab, pake jilbab aneh malahan 31-01-2021 1319 dewimetal dan 4 lainnya memberi reputasi Ane nyimak aja 31-01-2021 1320 iau dan 37sanchi memberi reputasi Jilbab adalah budaya yahudi yg di tiru oleh org2 arab dan agama samawi 31-01-2021 1323 scorpiolama dan 9 lainnya memberi reputasi KASKUS Maniac Posts 9,830 Sebagai non islam gua malah lebih dulu tau drpada umat nya. Tp Karena gua lebih cepat mengerti ya gua ogah masuk ke kaum itu. Biar makhluk spt felix siaw aja yg masuk seperti kata abu duda 31-01-2021 1327 dan 9 lainnya memberi reputasiDiubah oleh bajier 31-01-2021 1335 setiapmenit Yg agan cari itu pembenaran atau kebenaran? Coba aja tanya pendapat ulama yg lain sbg second opinion 31-01-2021 1330 iau dan 2 lainnya memberi reputasi KASKUS Maniac Posts 8,890 31-01-2021 1337 Kaskus Addict Posts 1,310 Yg non muslim ikut campur melulu kalo ajaran agamanya di campurin kan urat nya langsung nongol di leher masing masing 31-01-2021 1343 asepsutana dan 6 lainnya memberi reputasi Aktivis Kaskus Posts 696 Dalam Islam itu ada ayat2 atau teks yg sifatnya Qathiy pasti dan Dzaniy multitafsir Hal yg Qothiy /pasti seperti sholat subuh itu 2 rakaat, zinah itu haram << kalau ada beda tafsir dr ulama dipastikan ulama itu sesat. << inilah teks dasar syariat Hal Dzaniy multitafsir jg sangat banyak salah satunya tentang jilbab, ataupun tentang cara praktek ibadah sholat sendiri ada banyak perbedaan baik yg sunnah bahkan yg fardhu << jadi apabila ada perbadaan dalam hal dzaniy..itulah yg di sebut madzhab...tidak mengapa karena kebenaran itu tidak hanya dari satu jalan selama masih dalam koridor/arahan/pendapat/madzhab yang terpercaya << inilah yang disebut Fiqih wallohu'alam bishowab 31-01-2021 1345 dan 13 lainnya memberi reputasi KASKUS Maniac Posts 9,122 Yg plg enak itu seluruh badan tertutup, hanya pantat yg kebuka. Pakaian penyembah baliho. 31-01-2021 1346 brojolterus dan 2 lainnya memberi reputasi Indah nya dl sebelum 2008 Pada masih banyak gaya rambut wadonnya Skrg menangan motif 31-01-2021 1352 dewimetal dan 5 lainnya memberi reputasiDiubah oleh gikogaza 31-01-2021 1352 KASKUS Maniac Posts 8,378 quraish shihab sama imam syafii pinteran mana TS?😂😂ngaji lagi sonoh 31-01-2021 1356 chaschuser dan 16 lainnya memberi reputasi Kalo ga pake jilbab nanti di kucilkan.... 31-01-2021 1359 dan 9 lainnya memberi reputasi Kaskus Addict Posts 1,839 kalau UU hukum multitafsir itu bahaya, bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Jangan revisi tafsir terus, tapi tafsir yang lama masih tetap berlaku. 31-01-2021 1409 dan jd101 memberi reputasi buat apa original teks tapi terjemahan dan tafsirnya ada selangit 31-01-2021 1413 dan 3 lainnya memberi reputasi Potret Buya Hamka Wikipedia Oleh Ahsan Hakim MPdI Mahasiswa Prodi Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang Cukup banyak yang tersentak ketika Naila Fauzia, cucu salah seorang tokoh Muhammadiyah, Buya Hamka, mengangkat sebuah tulisan di akun media sosialnya yang mengatakan bahwa jilbab, menurut Buya Hamka, tidak wajib. Tulisan tersebut menarik minat saya untuk turut berkomentar dan sempat terjadi perdebatan. Perdebatan itu kemudian membawa saya terhubung langsung dengan Ibu Fathiyah Hamka yang merupakan anak kandung ke-7 Buya Hamka melalui sambungan telepon, melalui perantara Mbak Naila yang merupakan anak beliau. Melalui telepon itu, saya dapat menyimpulkan bahwa Mbak Naila adalah orang baik tentu saja!, meskipun dalam hal jilbab, kami berselisih pendapat. Hal yang pertama perlu digarisbawahi adalah bahwa, H. Abdul Karim Abdullah yang kemudian kita kenal dengan nama Hamka, sebagai seorang individu adalah milik keluarganya, tetapi Hamka sebagai ulama adalah milik umat Islam. Sehingga pemikiran Hamka yang dituliskan dalam karya-karyanya bukan hanya hak keluarganya yang dapat dihitung dan dibagi berdasarkan Ilmu Faraid. Pemikiran Hamka tidak dapat misalnya, dimanipulasi’ oleh sebagian keluarganya, melainkan dapat didiskusikan oleh siapapun yang mempelajarinya. Terlebih, di internal cucu-cucu Hamka sendiri terbelah dua pandangan terkait pemikiran Hamka tentang jilbab, sehingga dapat dikatakan di internal cucu-cucu Hamka sendiri masih belum final. Apakah jilbab menurut Hamka wajib? Pertanyaan tersebut membutuhkan teks langsung Hamka tentang hukum jilbab. Sayangnya sampai tulisan ini dibuat, jawaban tekstual itu tidak ditemukan. Tidak ditemukan jawaban tegas Hamka tentang “hukum wajib jilbab”. Pada saat yang sama Hamka tidak memaksakan anggota keluarga perempuannya memakai jilbab. Itulah faktor utama yang menjadikan banyak orang bertanya-tanya, bahkan di antara cucu Buya Hamka sendiri terbelah pandangan. Supaya fair maka harus saya katakan, Hamka memang secara tekstual tidak menulis hukum jilbab adalah wajib, tetapi Hamka juga tidak secara tekstual menulis hukum jilbab adalah tidak wajib. Berangkat dari sini, artinya skor masih sama 1-1. Belum bisa ditarik kesimpulan secara tegas apakah Buya Hamka mewajibkan jilbab bagi perempuan ataukah tidak. Untuk mengurai masalah tersebut, harus dibedakan antara Pemikiran Hamka dan Sikap Hamka. Ini penting. Karena melihat sepak terjang Hamka, dua hal itu memang memiliki domain yang berbeda dalam sejarah perjalanan hidupnya. Ini dapat dibuktikan misalnya, secara pemikiran ia berlawanan dengan Soekarno, tetapi secara sikap, ia justru menyalatkan jenazah Soekarno. Lantas apa yang dibicarakan Hamka dalam menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan jilbab? Dalam perdebatan di media sosial, Mbak Naila menjelaskan bahwa kriteria pakaian perempuan menurut Hamka sederhana, yaitu sopan, layak dan tidak menggoda kaum pria. Cukup. Kriteria itu ia ambil dari keterangan di buku Hamka yang berjudul 1001 Soal Kehidupan. Kriteria tersebut paralel dengan penjelasan Hamka ketika menafsirkan QS. Al-Ahzab ayat 59 dalam sub bab tersendiri yang diberi judul Pakaian Sopan. Ia menuliskan, “Selangkah demi selangkah masyarakat Islam itu ditentukan bentuknya agar berbeda dengan masyarakat jahiliyah. Terutama ditunjukkan perbedaan pakaian perempuan yang menunjukkan adab sopan santun yang tinggi.” Jika Mbak Naila hanya berhenti pada penjelasan kriteria pakaian yang sopan, layak dan tidak menggoda laki-laki, maka sebagaimana yang saya sampaikan di telepon, pernyataan itu rawan digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab untuk membenarkan dirinya berpakaian apapun selama merasa sopan, layak dan tidak menggoda laki-laki. Kriteria itu abstrak sekali dan, sebagaimana perdebatan di media sosial tersebut, kriteria itu dapat berlaku sangat fleksibel dan subyektif? seperti yang diakui Mbak Naila sendiri. Dalam membicarakan kriteria sopan itu, harus melihat penjelasan utuh Hamka dalam tafsirnya. Ia menulis dalam sub bab Jilbab di Indonesia ketika menafsirkan QS. Al-Ahzab ayat 59, “Dalam ayat yang kita tafsirkan ini jelaslah bahwa bentuk pakaian atau modelnya tidaklah ditentukan oleh al-Quran. Yang jadi pokok yang dikehendaki al-Quran ialah pakaian yang menunjukkan iman kepada Allah SWT, pakaian yang menunjukkan kesopanan, bukan yang memperagakan badan untuk jadi tontonan laki-laki.” Dalam menafsirkan QS. An-Nur ayat 31, Hamka membuat sub bab Kesopanan Iman. Ia menuliskan, “Yang diperingatkan oleh Islam kepada umatnya yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan ialah supaya mata jangan diperliar, kehormatan diri dan kemaluan hendaklah dipelihara, jangan menonjolkan perhiasan yang seharusnya tersembunyi, jangan membiarkan bagian dada terbuka, tetapi tutuplah baik-baik.” Jika penjelasan di atas masih belum jelas, Hamka belum berhenti. Ia menjelaskan kriteria yang lebih detail dalam menafsirkan QS. An-Nur ayat 31. “Peringatan kepada perempuan, selain menjaga penglihatan mata dan memelihara kemaluan, ditambah lagi, yaitu janganlah dipertontonkan perhiasan mereka kecuali yang nyata saja. CINCIN DI JARI, MUKA DAN TANGAN, ITULAH PERHIASAN YANG NYATA. Artinya yang sederhana dan tidak menyolok dan menganjurkan. Kemudian diterangkan pula, bahwa hendaklah selendang kudung yang telah memang tersedia ada di kepala itu ditutupkan kepada dada.” Dalam penjelasan selanjutnya Hamka menuliskan agar perempuan menutupkan selendang kepada “juyub”, yaitu lubang terbuka dada yang memperlihatkan pangkal payudara. Adalah betul Hamka tidak menyatakan secara tekstual jilbab adalah wajib, tetapi Hamka menyebutkan kriteria pakaian di dalam Islam, yaitu beradab yang sopan, tidak memperagakan badan menonjolkan lekuk tubuh pada laki-laki, tidak mempertontonkan perhiasan kecuali yang nyata cincin di jari, muka dan tangan, dan mengenakan selendang kudung yang dijulurkan menutupi dada. MODE PAKAIAN Hal yang menarik, ketika menjelaskan kritera pakaian itu, Hamka menuliskan keluhannya ketika menafsirkan QS. An-Nur ayat 31. Katanya, “Memang amatlah payah menerima anjuran ini bagi orang yang lebih tenggelam kepada pergaulan modern sekarang ini. Kehidupan modern adalah pergaulan yang amat bebas di antara laki-laki dan perempuanlah permulaan dari penyakit yang tidak akan sembuh selama-lamanya, sampai hancur pribadi dan hilang kendali atas diri. Menjadilah kita orang yang kotor. Orang dipaksa mesti sopan dan berpekerti halus terhadap perempuan, tetapi pintu-pintu buat mengganggu syahwat dibuka selebar-lebarnya. Mode-mode pakaian perempuan terlepas sama sekali dari kendali agama, lalu masuk ke dalam kekuasaan diktator ahli mode di Paris, London, dan New York.” Panjang lebar Hamka mengkritik filsafat pandangan hidup Barat modern yang dimulai-sebarkan oleh Sigmund Freud dan Karl Marx, yang telah mengeksploitasi filsafat pandangan hidup untuk dikerucutkan pada urusan libido dan masalah perut. Pada sub bab Jilbab di Indonesia Hamka menuliskan pengalamannya ketika datang ke Tanjung Pura dan Pangkalan Berandan tahun 1926, ke Makassar tahun 1931, ke Bima tahun 1956, ke Gorontalo tahun 1967, dan ke Yogyakarta tahun 1924 pada Gerakan Aisyiyah, untuk menjelaskan bagaimana model jilbab yang dikenakan pada masing-masing budaya di daerah tersebut. Kemudian ia menyampaikan, “Menjadi adat istiadat perempuan Indonesia jika telah kembali dari haji, lalu memakai khimaar selendang yang dililitkan di kepala dengan dibawahnya dipasak dengan sanggul bergulung, sehingga rambut kemas tidak kelihatan.” Untuk diketahui, Hamka sebenarnya mendefinisikan jilbab sebagai, “Kain sarung yang ditutupkan ke seluruh badan hanya separuh muka saja yang kelihatan.” Maka jelaslah Hamka membedakan antara mode pakaian dan kriteria pakaian dalam Islam. Bahkan, di lain pihak, Hamka juga mengatakan perempuan Mekah yang memakai jenis pakaian yang hanya terlihat matanya dan beberapa negeri Islam yang perempuannya memakai purdah, bukan merupakan kriteria detail pakaian yang disebut dalam al-Quran. Tetapi digolongkan dalam mode pakaian. Hamka terlihat ingin menonjolkan pemikiran moderatnya ketika menulis paragraf penutup pada tafsir QS. An-Nur ayat 31, “Kalau di Barat perempuan bebas lepas sesuka dengan tidak ada kontrol, maka di negeri-negeri Islam yang jumud perempuan dikurung oleh laki-laki. Keduanya kehilangan pedoman hidup. Maka jalan yang baik ialah kembali kepada jalan tengah yang diwariskan Nabi Saw. Kaum perempuan tidak dikurung dan ditindas, tidak pula dibiarkan mengacaukan masyarakat dengan kerling matanya. Tetapi dipupuk rasa tanggung jawabnya atas dirinya, dengan bimbingan laki-laki, dalam rangka membangun masyarakat beriman.” SIKAP HAMKA Telah saya katakan di awal bahwa memang, harus dibedakan antara Pemikiran Hamka dan Sikap Hamka. Mengingat Hamka tidak memaksakan anggota keluarganya yang perempuan untuk mengenakan jilbab, bahkan ketika masih memegang Yayasan Al-Azhar di Kebayoran Baru, berdasarkan cerita Mbak Naila, siswi sekolah tersebut memakai rok selutut dan kemeja lengan pendek. Guru perempuannya pun tidak ada yang berjilbab, memakai rok biasa dan rambut terbuka. Ibu Fathiyah Hamka dengan vibrasi suaranya yang menunjukkan beliau sudah tua, menyampaikan di telepon, “Hamka tidak pernah mewajibkan anak-anaknya memakai jilbab, juga tidak melarang-larang memakainya. Ya kehidupan berjalan biasa begitu saja.” Lantas bagaimana mengawinkan fakta keduanya antara pemikiran dan sikap Hamka? Ada ceramah Gus Baha yang menarik saya terjemah dan trakskripkan audionya di sini. Ia menyampaikan, “Tidak usah sok pintar. Asal dia ulama entah dia itu siapa saja harus kita hormati. Saya hormat sekali, dengan Mbah Mun ya hormat, dengan Habib Lutfi ya hormat, dengan Bapak Quraish Shihab ya hormat, asal dia alim ulama pasti bacanya banyak, pertimbangannya banyak. Kecuali dia tidak alim saya tidak percaya, tapi beliau-beliau ini kan orang alim. Lalu kalau beliau berstatemen hukum, apakah hukum fikih atau hukum tahapan, kita kan tidak tahu, kan dia orang alim. Kadang orang alim fatwa itu hukum tahapan, bukan hukum sebenarnya. Misalnya begini, orang Indonesia rata-rata cara berpakaian begitu lalu diputuskan bilang tidak apa-apa. Ternyata bilang tidak apa-apa itu dalam proses tahapan, bukan menghukumi yang sebenarnya. Saya contohkan paling mudah supaya kamu ngaji, supaya tidak sedikit-sedikit menyalahkan orang. Rasulullah pernah ditanya, Ya Rasulallah saya ini mau masuk Islam tapi penyakit dasar saya berbohong. Apa boleh saya shalat, zakat, tapi masih berbohong? Jawab Nabi, Tidak apa-apa, kamu yang penting shalat.’ Setelah orang itu pergi Ibnu Abbas protes, Ya Rasulallah apakah engkau menghalalkan berbohong?’ Kata Nabi, Tidak, berbohong tidak halal.’ Ibnu Abbas bertanya lagi, Tapi engkau membolehkan ketika orang itu membuat kontrak tetap boleh berbohong karena orang ini pekerjaannya makelar, rezekinya dari berbohong.’ Jawab Nabi, Nanti kalau sering shalat pasti jijik sendiri dengan berbohong.’ Berarti ketika Nabi tidak mengharamkan berbohong ini bukan hukum sebenarnya, ini hukum tahapan.” Menyimak ceramah Gus Baha tersebut, jika benar sikap Hamka termasuk hukum tahapan dan bukan hukum fikih, maka benarlah apa yang dijelaskan oleh cucu Hamka yang lainnya, yaitu kakak beradik Mas Abdul Malik dan Mas Abdul Hadi, bahwa Hamka mendorong putri-putrinya untuk berjilbab, tetapi dalam prakteknya tidak dengan cara memaksa. Terlebih pada zaman itu belum terlalu umum budaya jilbab di Indonesia. Kakak beradik tersebut adalah putri dari Prof. Dr. Aliyah Hamka, yang juga merupakan anak kandung Hamka. Itu adalah husnuzhan saya terhadap Hamka, terhadap ulama. Jika saya harus memberlakukan sikap suuzhan, maka dalam timbangan pikiran pribadi boleh jadi saya katakan Hamka kurang bertanggung jawab terhadap anggota keluarga perempuannya dari perintah menutup aurat. Tapi hal itu jelas tidak saya lakukan. SISTEMATIKA PENULISAN TAFSIR AL-AZHAR Dalam menafsirkan QS. An-Nur ayat 31-32 Hamka secara runut menjelaskan Peringatan bagi kaum laki-laki agar menjaga pandangan matanya dari perempuan agar terhindar dari syahwat yang tidak terkendali Peringatan bagi kaum perempuan untuk selain menjaga penglihatan dan memelihara kemaluan, juga tidak mempertontonkan perhiasannya kecuali yang nyata saja cincin di jari, muka dan tangan Kritik terhadap mode pakaian dan filsafat pandangan hidup Barat modern Orang-orang yang boleh diperlihatkan “perhiasan” perempuan Kesopanan Iman, dengan mejelaskan kriteria pakaian dalam Islam dan pembahasan mode pakaian Adapun dalam menafsirkan QS. Al-Ahzab ayat 59 Hamka secara runtut memaparkan Pakaian Sopan, dengan mengisahkan bagaimana Rasulullah memerintahkan istri-istri dan anak-anaknya yang perempuan agar ketika keluar dari rumah hendaklah memakai jilbab Jilbab di Indonesia, yang membicarakan model-model jilbab yang dipakai sesuai adat dan budaya di Indonesia Dengan melihat sistematika itu, rasanya memang tidak perlu lagi berebut klaim apakah Hamka mewajibkan jilbab atau tidak karena secara tekstual memang tidak/belum ditemukan, tetapi yang perlu mendapat perhatian lebih adalah bagaimana Hamka menjelaskan kriteria pakaian dalam Islam seperti yang sudah dijelaskan di atas serta kritik beliau terhadap mode, budaya, serta filsafat hidup Barat modern terkait pakaian dan kehidupan perempuan. Jika itu disepakati, maka diskusi bisa dianggap selesai. Wallahu a’lam bish-shawab. Kisah cinta Buya Hamka dan Siti Raham terbilang romantis dengan cara yang sederhana Sosok Buya Hamka mungkin sudah tidak asing lagi bagi sebagian masyarakat Indonesia. Ulama yang memiliki idealisme kuat ini merupakan seorang Hamka menjadi ketua pertama Majelis Ulama Indonesia MUI sekaligus tokoh Muhammadiyah yang memperoleh gelar Pahlawan itu, nama Buya Hamka juga dikenal sebagai penulis novel terlaris, seperti Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapan van den Wijck. Semasa hidup, ia meniti karier sebagai penulis, wartawan, pengajar, dan jasa-jasanya kepada negara, kisah cinta Buya Hamka dan Siti Raham juga berhasil menuai sorotan karena begitu romantis dan penuh kesederhanaan. Berikut siap membahas fakta kisah cinta Buya Hamka dan Siti Raham secara lebih Buya Hamka dan Siti Raham menikah pada 5 April cinta keduanya bermula pada 5 April 1929. Saat itu, Buya Hamka berusia 21 tahun dan Siti Raham berusia 15 tahun. Mereka sah menjadi pasangan suami istri di usia yang masih sangat masih belia, Siti Raham sampai harus berdiri di atas bangku kecil agar tingginya sepantaran dengan Buya Hamka. Sebelum resmi menikah, Buya Hamka sempat menulis roman berbahasa Minang berjudul Si tersebut dicetak tiga kali. Dari pendapatan penjualan buku itulah Buya Hamka menggunakannya untuk biaya Buya Hamka menolak untuk muda, Buya Hamka termasuk lelaki yang mudah sekali jatuh cinta. Selama melakukan perjalanan, banyak perempuan yang menarik perhatiannya, termasuk seorang janda muda bernama istrinya masih belia dan tidak masalah jika dirinya mendua, Buya Hamka menolak permintaan papanya untuk menikah dua kali. Bahkan, sampai ada pula seorang muslimah yang menawarkan diri untuk menjadi teman hidup Hamka secara Buya Hamka tetap teguh pada pendiriannya. Hatinya tak kuasa menikahi perempuan lain setelah Siti Raham. Selalu ada peringatan yang menghampiri relung batin Buya Hamka ketika berniat menerima tawaran cinta dari perempuan Rumah tangga Buya Hamka dan Siti Raham mengalami masalah perekonomianDok. Keluarga Buya HamkaBanyak suka dan duka yang mewarnai kehidupan pernikahan Buya Hamka dan Siti Raham, apalagi mereka berasal dari keluarga kurang mampu secara perekonomian. Saat ujian datang silih berganti, Siti Raham tak pernah henti memberikan motivasi tanpa mengeluh sekali pun.“Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain,” tutur Hamka dalam buku biografi Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka karangan Rusydi Picks4. Puncak kemiskinan terjadi saat anak ketiga Buya Hamka lahir ke duniaDok. Keluarga Buya HamkaPuncak kemiskinan Buya Hamka dan Siti Raham terjadi ketika lahirnya anak ketiga mereka, yaitu Rusydi Hamka. Ia dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin, Padang Panjang pada itu, anak pertamanya yang bernama Hisyam meninggal dunia saat berusia lima tahun. Besarnya tanggungan ekonomi serta kerasnya penjajahan pada masa itu membuat Buya Hamka harus memutar otak secara ekstra. Apalagi ia harus membiayai istri dan kondisi diselimuti kemiskinan, Buya Hamka memutuskan untuk pergi ke Medan demi bekerja di Majalah Pedoman Masyarakat. Di ibu kota Sumatera Utara itu, Buya Hamka menetap selama sebelas tahun Siti Raham senantiasan menjalankan amanah yang diberikan Buya Vino G Bastian sebagai Buya Hamka, Laudya Chintya Bella sebagai Siti Raham Menurut Rusydi Hamka, saat itulah dia menyaksikan secara langsung kesulitan ekonomi yang dihadapi kedua orangtuanya. Kesetiaan Siti Raham terhadap Buya Hamka kerap diuji, namun ia memilih untuk mempertahankan rumah Raham senantiasa menjalankan amanah dari Buya Hamka untuk menjadi istri yang taat kepada suami serta mendidik anak-anaknya, meski Buya Hamka tidak bersamanya. Dalam kondisi pas-pasan, Buya Hamka mampu menahkodai rumah tangga dengan tujuh orang anak tersebut belum termasuk kemenakan yang ikut dibiayai Buya Hamka. Pasalnya, dalam adat Minang, saudara ibu yang laki-kaki memiliki tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara Siti Raham rela menjual perhiasan demi membeli beras dan membayar sekolah Vino G Bastian sebagai Buya Hamka, Laudya Chintya Bella sebagai Siti Raham Saat menemui istrinya di rumah, pertanyaan yang sering diutarakan Buya Hamka adalah “Apakah anak-anak bisa makan?” kemudian ia sengaja menepuk perut anak-anaknya untuk memastikan apakah buah hatinya dalam keadaan lapar atau Raham sukses menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Demi anak-anaknya tidak kelaparan, ia rela menjual harta simpanannya. Sejak dulu, Siti Raham bukanlah perempuan yang menjadikan perhiasan sebagai mahkota hidupnya adalah Buya Hamka dan keluarga. Mulai dari kalung, gelang emas, dan kain batik halus yang dibelinya di Medan terpaksa ia jual di bawah harga demi membeli beras serta membayar uang sekolah Raham seolah tidak lagi peduli akan dirinya yang kesusahan, asalkan perut anak-anaknya bisa kenyang dengan tenang dan tetap bisa melanjutkan Siti Raham selalu memprioritaskan kehormatan Vino G Bastian sebagai Buya Hamka, Laudya Chintya Bella sebagai Siti Raham Sering sekali Siti Raham meneteskan air mata ketika membuka lemari untuk mengambil kain-kain yang disimpannya. Ia berniat untuk menjualnya ke pasar demi bisa memberi makan tega melihat istrinya terus menguras harta, Buya Hamka sontak mengeluarkan sejumlah kain Bugis untuk dijual. Namun, istrinya justru mencegahnya dan berkata“Kain Angku Haji jangan dijual, biar kain saya saja. Karena Angku Haji sering keluar rumah. Di luar jangan sampai Angku Haji kelihatan sebagai orang miskin,” ujar Siti kehidupan yang serba sederhana, Siti Raham masih memprioritaskan kehormatan suaminya. Apa saja rela dilakukan agar Buya Hamka tidak terlihat lusuh di mata jama’ah dan Raham kerap memikirkan pakaian hingga membersihkan kopiah saat suaminya hendak keluar. Baginya, cinta adalah Banyak pengorbanan yang dilakukan Siti Raham untuk menjalani tugasnya sebagai seorang Vino G Bastian sebagai Buya Hamka “Saya diminta berpidato, tapi sebenarnya ibu-ibu dan bapak-bapak sendiri memaklumi bahwa saya tak pandai pidato. Saya bukan tukang pidato seperti Buya Hamka. Pekerjaan saya adalah mengurus tukang pidato dari sejak memasakkan makanan hingga menjaga kesehatannya,”Itulah kalimat singkat yang diutarakan Siti Raham ketika dipercaya memberikan pidato dalam kunjungan Buya Hamka ke Makassar. Tak disangka, ucapan itu sukses membuat Buya Hamka meneteskan air besar pengorbanan Siti Raham sebagai seorang istri dalam masa-masa perjuangan. Maka, melihat Buya Hamka yang menangis ketika dirinya turun dari mimbar pidato, Siti Raham hanya bisa tersenyum dan berkata, “Kan yang Ummi pidatokan itu kenyataannya saja.”Itu dia ulasan seputar fakta kisah cinta Buya Hamka dan Siti Raham. Bagaimana menurut Mama perjuangan cinta mereka berdua?Baca juga Tayang saat Lebaran, Ini Pelajaran Cinta dari Sosok Buya Hamka 5 Fakta Menarik Film Buya Hamka, Karya Panjang Berdurasi 7 JamTingkat Kecocokan Zodiak Taurus dan Capricorn dalam Percintaan Oleh Muhammad Pizaro Sekjen Jurnalis Islam Bersatu “SAYA diminta berpidato, tapi sebenarnya ibu-ibu dan bapak-bapak sendiri memaklumi bahwa saya tak pandai pidato. Saya bukan tukang pidato seperti Buya Hamka. Pekerjaan saya adalah mengurus tukang pidato dari sejak memasakkan makanan hingga menjaga kesehatannya.” Itulah kalimat singkat dari Siti Raham binti Endah saat didapuk memberikan pidato dalam kunjungan Buya Hamka ke Makassar. Tak disangka, ucapan dari wanita bersahaja itu mendapat sambutan besar dari ribuan hadirin. “Hidup Ummi… Hidup Ummi!” pekik massa. Buya Hamka pun meneteskan air mata. Tangis haru dari ulama besar itu mengiringi langkah kaki sang kekasih turun dari panggung. Betapa besar pengorbanan istri tercintanya dalam masa-masa perjuangan. Siti Raham adalah garansi dari ketawadhuan di balik nama besar Buya Hamka. Kisah cinta mereka dimulai pada 5 April 1929. Kala itu, Siti Raham berusia 15 tahun. Sedangkan Buya Hamka berumur 21 tahun. Sejak itu, mereka sah menjadi pasangan suami istri. Ya, di usia dimana para muda-mudi saat ini lebih sibuk memakan rayuan dan menenggak kemaksiatan. Perjuangan Buya Hamka meminang Siti Raham patutlah ditiru. Tidaklah salah Allah menganugerahi manusia dengan kekuatan akal pikirannya. Buya Hamka kemudian menulis roman berbahasa Minang berjudul “Si Sabariyah”. Buku itu dicetak tiga kali. Dari honor buku itulah Buya membiayai pernikahannya. Banyak suka dan duka mewarnai perjalanan Buya Hamka merajut rumah tangga. Ulama Muhammadiyah itu tidak salah memilih Siti Raham. Di saat ujian datang, wanita kelahiran 1914 ini tampil sebagai motivasi baginya. Tanpa mengeluh maupun gulana. “Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain,” tutur Hamka dalam buku biografi “Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka” karangan Rusydi Hamka. Puncak kemiskinan dua sejoli ini terjadi ketika lahir anak ketiga, yaitu Rusydi Hamka. Dia dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin, Padang Panjang pada 1935. Sedangkan anak pertama Buya Hamka, bernama Hisyam, meninggal dalam usia lima tahun. Besarnya beban ekonomi ditambah kerasnya penjajahan, membuat Hamka harus memutar otak untuk membiayai anak-anaknya. Dalam kondisi diliputi kemiskinan, pergilah Hamka ke Medan untuk bekerja di Majalah Pedoman Masyarakat. Di kota yang kini menjadi ibukota Sumatera Utara itu, Hamka tinggal selama sebelas tahun. Menurut penuturan Rusydi Hamka, saat itulah dia menyaksikan dan mengalami kesulitan-kesulitan hidup kedua orangtuanya. Di balik tanggung jawab sang ayah, tak lupa kesetiaan Siti Raham senantiasa bersamanya. Wanita tegar itu senantiasa menjalankan amanah Buya Hamka untuk menjadi istri yang taat suami dan mendidik anak-anak di kala Buya tiada bersamanya. Dengan kondisi pas-pasan, Buya Hamka mampu menahkodai rumah tangga dengan tujuh orang anak. Itu belum ditambah beberapa kemenakan yang ikut dibiayai Buya Hamka. Sebab dalam adat Minang, seorang Mamak punya tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara perempuannya. Rusydi mengatakan Hamka adalah orang yang biasa-biasa saja. Berbeda dengan pria keturunan Minang yang pandai berdagang, Buya Hamka bukanlah orang yang mewarisi bakat berbisnis. Hamka juga bukanlah orang yang makan gaji dari pemerintah. “Ketika pindah ke Padang Panjang dalam suasana revolusi, ayah jelas tak punya sumber kehidupan tetap yang diharapkan setiap bulan,” terang Rusydi Hamka. Saat memimpin Muhammadiyah di Sumatera Barat, Buya Hamka kerap keliling kampung untuk berdakwah. Perjalanan itu kerap dilaluinya dengan Bendi maupun berjalan kaki. Hal itu dilakukan selama berhari-hari tanpa pulang ke rumah. Maka saat menemui istrinya di rumah, pertanyaan yang sering diutarakan Buya Hamka adalah Apakah anak-anak bisa makan? Hingga Buya Hamka sengaja menepuk perut anak-anaknya untuk mengetahui apakah buah hatinya lapar atau kenyang. Di sinilah, Siti Raham sukses menjalankan amanah sebagai Ibu. Agar anak-anaknya tidak kelaparan, Siti Raham rela menjual harta simpanannya. Beliau bukanlah wanita menjadikan perhiasan sebagai makhota. Karena makhota sejatinya adalah Buya Hamka dan keluarga. Maka Kalung, gelang emas, dan kain batik halus yang dibelinya di Medan terpaksa dijual di bawah harga demi membeli beras dan membayar uang sekolah anak-anak. Biarlah dirinya kesusahan, asal perut anak-anaknya tidak kelaparan dan tetap bisa melanjutkan pendidikan. Kerapa kali dirinya meneteskan air mata, ketika membuka almarinya untuk mengambil kain-kain simpanannya untuk dijual ke pasar. Tak tega melihat istrinya terus menguras hartanya, Buya Hamka sontak mengeluarkan beberapa helai kain Bugisnya untuk dijual. Namun sang istri mencegahnya. “Kain Angku Haji jangan dijual, biar kain saya saja. Karena Angku Haji sering keluar rumah. Di luar jangan sampai Angku Haji kelihatan sebagai orang miskin,” ujarnya. Demikianlah dalam keadaan sederhana Siti Raham masih mempertimbangkan kehormatan suaminya. Apa saja dilakukannya agar Buya Hamka tidak terlihat lusuh di mata jama’ah dan masyarakat. Dari mulai memikirkan pakaian hingga membersihkan kopiah bila Buya Hamka hendak keluar. Karena cinta adalah kehormatan. Maka melihat Buya Hamka menangis saat dirinya turun dari mimbar pidato di Makassar, sang istri hanya bisa tersenyum, “Kan yang Ummi pidatokan itu kenyataannya saja.” [] - Belum lama ini, perdebatan jilbab sempat mencuat, terkait foto Pahlawan Nasional Tjut Meutia dalam uang baru pecahan Dalam uang pecahan baru itu, terpampang foto Tjut Meutia tanpa mengenakan jilbab. Beberapa pihak yang merasa keberatan, bahkan mengajukan protes, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat DPR Aceh dari fraksi Partai Amanat Nasional, Asrizal H Asnawi. Walaupun pihak keluarga Tjut Meutia tak keberatan dengan gambar leluhur mereka tak berjilbab. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jilbab adalah kerudung lebar yang dipakai wanita muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai dada. Istilah ini memang baru populer di zaman moderan. Di awal abad XX, istilah jilbab belum banyak dipakai. Penggunanya di Indonesia juga kala itu sulit pahlawan wanita di masa lalu menunjukkan hanya segelintir yang mengenakan jilbab. Selain Tjut Meutia, Tjut Njak Dien juga tak berjilbab. Setidaknya berdasar foto koleksi Tropenmuseum yang dipotret setelah penangkapannya di 1905. Intinya, tak semua pahlawan nasional perempuan beragama Islam berjilbab di masa awal abad XX. “Jilbab, blus, dan celana masa kini tidak ada dalam foto-foto dari tahun 1880-an dan 1890-an,” tulis Jean Gelman Taylor dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia 2008. Kesimpulan itu didapat setelah dia mengamati foto-foto lawas era 1880-1890-an. Berdasarkan foto-foto lawas, hanya Siti Walidah alias Nyi Ahmad Dahlan dan Rangkayo Rasuna Said yang terlihat memakai jilbab. Dua perempuan ini tak berjuang medan perang, tetapi merupakan intelektual pergerakan nasional di zaman kolonial. Di zaman kolonial, jilbab bukan penutup kepala populer yang dipakai oleh kaum hawa. Pada masa itu, lebih mudah ditemukan perempuan-perempuan Abdul Munir Mulkhan dalam Kiai Ahmad Dahlan Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan 2010, Ahmad Dahlan “yang mentradisikan pemakaian kerudung bagi kaum perempuan yang belakangan merebak dalam tradisi atau model jilbab.” Tentu saja tidak langsung semua perempuan beragama Islam mulai banyak yang berkerudung, apalagi berjilbab. Di era pergerakan nasional 1930-an, jumlah perempuan berkerudung atau berjilbab juga masih belum banyak. Rangkayo Rasuna Said berjilbab seperti gurunya ketika di Diniyah Putri, Rahmah El Yunusiyah. Mengenai jilbab yang dipakai Rasuna, dalam memoarnya, Hadely Hasibuan Memoar Mantan Menteri Penurunan Harga 1995, Hadely Hasibuan menuliskan kekagumannya pada Rasuna Said. “Rangkayo yang cantik ini, konon sehari-harian, dari pagi sampai malam selalu mengenakan baju kurung dan jilbab.” Menurut AA Navis dalam Surat dan Kenangan Haji 1994, jilbab yang dipakai Rasuna Said digolongkan sebagai jilbab jenis mudawarah. Pada dekade yang sama, Siti Raham, istri Buya Hamka, juga memakai jilbab yang hampir sama dengan Rasuna. Setelah era pergerakan nasional, yang berlanjut di masa revolusi bahkan hingga film-film dakwah ala Rhoma Irama bertaburan di era 1970-1980, jilbab dan kerudung masih belum populer di Indonesia. Dalam beberapa film yang dibintangi Rhoma Irama, perempuan yang jadi pasangan Raja Dangdut itu hanya digambarkan mengenakan pakaian sopan, tanpa jilbab ataupun kerudung. Dalam film Perjuangan dan Doa yang dirilis 1980, tokoh sosok pelajar madrasah bernama Laila yang diperankan Rika Rachim hanya memakai kerudung saja. Memasuki periode 1980an, penggunaan jilbab mulai semarak. Makin banyak siswi sekolah yang mengenakan jilbab, dan muncul wacana untuk memisahkan siswi berjilbab dan tidak berjilbab. Pada 1979, siswi-siswi berjilbab di Sekolah Pendidikan Guru SPG Negeri Bandung menolak dipisahkan dengan kawan-kawan perempuan mereka yang tak berjilbab. Ketua MUI Bandung kala itu EZ Muttaqien berhasil menggagalkan pemisahan itu. Pemerintah Orde Baru memang dikenal sebagai pemerintah yang gandrung pada keseragaman, termasuk dalam berpakaian. Pada 17 Maret 1982, Dirjen Pendidikan dan Menengah Dikdasmen, Prof. Darji Darmodiharjo, SH., mengeluarkan Surat Keputusan 052/C/Kep/ tentang Seragam Sekolah Nasional yang berujung pada pelarangan jilbab di sekolah negeri Marle Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 2008, gerakan-gerakan Islam yang berseberangan dengan Orde Baru merasa, “pemerintah Orde Baru selalu menghalang-halangi umat Islam untuk menerapkan syariah Islam dalam kehidupan sehari-hari, misalnya melarang para perempuan memakai jilbab untuk menutupi auratnya.”Tentu saja Soeharto tak bisa berlama-lama menghalang-halangi jilbab. Dia tak mau terus menerus ditentang diam-diam oleh orang Islam seperti sosok Abdurrahman Wahid yang pimpinan NU itu. Soeharto pun akhirnya merangkul orang-orang Islam lainnya. Pada kala itu, Soeharto menyetujui didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia ICMI pada Desember 1990. Lalu memperbolehkan jilbab dipakai dan berkembang, bahkan belakangan ini ada istilah Gen-M untuk menggambarkan sebuah generasi.“Usaha Soeharto mendapatkan dukungan Islam menghasilkan sejumlah konsesi pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Perempuan diperbolehkan memakai jilbab,” tulis Marle Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 2008. Berdasar Surat Keputusan nomor 100/C/Kep/D/ tahun 1991, Dirjen Pendidikan dan Menengah memperbolehkan lagi siswi-siswi di sekolah-sekolah negeri sekuler memakai jilbab. Seperti ditulis Eko Prasetyo dalam Astaghfirullah! Islam Jangan Dijual 2007, “jilbab kemudian trend mode.” Dari tahun ke tahun, setelah diperbolehkan perlahan-lahan pemakainya semakin banyak. Para wanita bahkan semakin kreatif dalam memodifikasi jilbab. Tren ini dimulai dari ujung masa Orde Baru, hingga kini. - Sosial Budaya Reporter Petrik MatanasiPenulis Petrik MatanasiEditor Suhendra

istri buya hamka tidak berjilbab